Minggu, 14 November 2010

Pesantren dan Perguruan Islam Al Kahfi Somalangu Kebumen

Pondok pesantren “AL-Kahfi” Somalangu Kebumen merupakan Pondok Pesantren yang telah terhitung cukup tua keberadaannya. Karena Pondok Pesantren ini telah ada semenjak tahun 1475 M. Adapun tahun dan waktu berdirinya dapat kita ketahui diantaranya dari Prasasti Batu Zamrud Siberia (Emerald Fuchsite) berbobot 9 kg yang ada didalam Masjid Pondok Pesantren tersebut. Sebagaimana diketahui menurut keterangan yang dihimpun oleh para ahli sejarah bahwa ciri khas Pondok Pesantren yang didirikan pada awal purmulaan islam masuk di Nusantara adalah bahwa didalam Pondok Pesantren itu dipastikan adanya sebuah Masjid. Dan pendirian Masjid ini sesuai dengan kebiasaan waktu itu adalah merupakan bagian daripada pendirian sebuah Pesantren yang terkait dengannya.
Prasasti ang mempunyai kandungan elemen kimia Al, Cr, H, K, O, dan Si ini bertuliskan huruf Jawa & Arab. Huruf Jawa menandai candra sengkalanya tahun. Sedangkan tulisan dalam huruf Arab adalah penjabaran dari candra sengkala tersebut. Terlihat jelas dalam angka tanggal yang tertera dengan huruf Arabic :
“25 Sya’ban 879 H”
Ini artinya bahwa Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu resmi berdiri semenjak tanggal 25 Sya’ban 879 H atau bersamaan dengan Rabu, 4 Januari 1475 M.
Pendirinya adalah Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al_Hasani. Beliau semula merupakan seorang tokoh ulama yang berasal dari Hadharamaut, Yaman. Lahir pada tanggal 15 Sya’ban 827 H di kampung Jamhar, Syihr. Datang ke Jawa tahun 852 H/1448 M pada masa pemerintahan Prabu Kertawijaya Majapahit atau Prabu Brawijaya I (1447 – 1451). Jadi setelah 27 tahun pendaratannya di Jawa, Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani barulah mendirikan Pondok Pesantren Al_Kahfi Somalangu.

Biografi Pendiri
Nama aslinya adalah Sayid Muhammad ‘Ishom Al_Hasani. Merupakan anak pertama dari 5 bersaudara. Ayahnya bernama Sayid Abdur_Rasyid bin Abdul Majid Al_Hasani, sedangkan ibunya bernama Syarifah Zulaikha binti Mahmud bin Abdullah bin Syekh Shahibuddin Al Huseini ‘Inath.
Ayah dari Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani adalah keturunan ke-22 Rasulullah saw dari Sayidina Hasan ra, melalui jalur Syekh As_Sayid Abdul Bar putera Syekh As_Sayid Abdul Qadir Al_Jaelani Al_Baghdadi. Beliau datang dari Bagdad, Irak ke Hadharamaut atas permintaan Syekh As_Sayid Abdullah bin Abu Bakar Sakran (Al_Idrus Al_Akbar) untuk bersama – sama ahlibait nabi yang lain menanggulangi para ahli sihir di Hadharamaut. Setelah para ahli sihir ini dapat dihancurkan, para ahlibait nabi tersebut kemudian bersama – sama membuat suatu perkampungan dibekas basis tinggalnya para ahli sihir itu. Perkampungan ini kemudian diberi nama “Jamhar” sesuai dengan kebiasaan ahlibait waktu itu yang apabila menyebut sesamanya dengan istilah Jamhar sebagaimana sekarang apabila mereka menyebut sesamanya dengan istilah “Jama’ah”. Sedangkan wilayah tempat kampung itu berada kini lebih dikenal dengan nama daerah Syihr, Syihir, Syahar ataupun Syahr. Yaitu diambil dari kata “Sihir” (mengalami pergeseran bunyi dibelakang hari), untuk menandakan bahwa dahulu wilayah tersebut memang sempat menjadi basis dari para ahli sihir Hadharamaut, Yaman.
Ayah dari Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-HAsani ini akhirnya tinggal, menetap dan wafat di Palestina, karena beliau diangkat menjadi Imam di Baitil Maqdis (Masjidil Aqsha). Di Palestina beliau masyhur dengan sebutan Syekh As_Sayid Abdur_Rasyid Al_Jamhari Al_Hasani. Makam beliau berada di komplek pemakaman imam – imam masjid Al_Quds. Sedangkan 4 saudara Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al_Hasani yang lain tinggal serta menetap di Syihr, ‘Inath serta Ma’rib, Hadharamaut.
Sayid Muhammad ‘Ishom Al_Hasani semenjak usia 18 bulan telah dibimbing dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan keagamaan oleh guru beliau yang bernama Sayid Ja’far Al_Huseini, Inath dengan cara hidup didalam goa – goa di Yaman. Oleh sang guru setelah dianggap cukup pembelajarannya, Sayid Muhammad ‘Ishom Al_Hasani kemudian diberi laqob (julukan) dengan Abdul Kahfi. Yang menurut sang guru artinya adalah orang yang pernah menyendiri beribadah kepada Allah swt dengan berdiam diri di goa selama bertahun – tahun lamanya. Nama Abdul Kahfi inilah yang kemudian masyhur dan lebih mengenalkan pada sosok beliau daripada nama aslinya sendiri yaitu Muhammad ‘Ishom.
Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al_Hasani ketika berusia 17 tahun sempat menjadi panglima perang di Yaman selama 3 tahun. Setelah itu beliau tinggal di tanah Haram, Makkah. Kemudian Pada usia 24 tahun, beliau berangkat berdakwah ke Jawa. Mendarat pertama kali di pantai Karang Bolong, kecamatan Buayan, Kabupaten Kebumen.
Setelah menaklukan dan mengislamkan Resi Dara Pundi di desa Candi Karanganyar, Kebumen lalu menundukkan Resi Candra Tirto serta Resi Dhanu Tirto di desa Candi Wulan dan desa Candimulyo kecamatan Kebumen, beliau akhirnya masuk ke Somalangu. Ditempat yang waktu itu masih hutan belantara ini, beliau hanya bermujahadah sebentar, mohon kepada Allah swt agar kelak tempat yang sekarang menjadi Pondok Pesantren Al_Kahfi Somalangu dapat dijadikan sebagai basis dakwah islamiyahnya yang penuh barokah dikemudian hari. Selanjutnya beliau meneruskan perjalanannya ke arah Surabaya, Jawa Timur.
Di Surabaya, Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al_Hasani tinggal di Ampel. Ditempat itu beliau diterima oleh Sunan Ampel dan sempat membantu dakwah Sunan Ampel selama 3 tahun. Kemudian atas permintaan Sunan Ampel, beliau diminta untuk membuka pesantren di Sayung, Demak. Setelah pesantren beliau di Sayung, Demak mulai berkembang Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani kemudian diminta oleh muballigh – muballigh islam di Kudus agar berkenan pindah dan mendirikan pesantren di Kudus. Problem ini terjadi karena para muballigh islam yang telah lebih dahulu masuk di Kudus sempat kerepotan dalam mempertahankan dakwah islamiyahnya sehingga mereka merasa amat membutuhkan sekali kehadiran sosok beliau ditengah – tengah mereka agar dapat mempertahankan dakwah islamiyah di wilayah tersebut.
Setelah Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani tinggal di Kudus dan mendirikan pesantren ditempat itu, Sunan Ampel kemudian mengirim puteranya yang bernama Sayid Ja’far As_Shadiq belajar pada beliau di Kudus. Tempat atsar pesantren Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani di Kudus ini sekarang lebih dikenal orang dengan nama “Masjid Bubrah”. Adapun riwayat tentang “Masjid Bubrah” ini akan kita sajikan dalam bagian tersendiri.
Ketika berada di pesantren beliau ini, Sayid Ja’far As_Sahdiq sempat pula diminta oleh beliau untuk menimba ilmu pada ayah beliau yang berada di Al-Quds, Palestina yaitu Syekh As_Sayid Abdur Rasyid Al-Hasani. Oleh karena itu setelah selesai belajar di Al-Quds, Palestina atas suka citanya sebagai rasa syukur kepada Allah Swt bersama Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani, Sayid Ja’far As_Shadiq kemudian mendirikan sebuah masjid yang ia berinama “Al-Aqsha”. Oleh Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani, Sayid Ja’far As_Sahadiq kemudian ditetapkan sebagai imam masjid tersebut dan Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani kemudian pindah ke Demak guna membantu perjuangan Sultan Hasan Al-Fatah Pangeran Jimbun Abdurrahman Khalifatullah Sayidin Panatagama di Kerajaan Islam Demak.
Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani menikah di Demak pada saat usianya telah mencapai kurang lebih 45 tahun. Pada waktu putera pertamanya telah berusia kurang lebih 5 tahun, beliau bersama isteri dan puteranya itu hijrah dari Demak ke Somalangu untuk mendirikan Pesantren. Di Somalangu inilah beliau akhirnya bermukim dan pesantren yang didirikannya kemudian hari dikenal dengan nama Pesantren Al_Kahfi Somalangu.
Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al_Hasani terhitung cukup lama dalam mengasuh Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu. Yaitu berkisar mencapai 130-an tahun. Oleh karenanya jika sejarah keadaan Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu sepanjang kepengasuhan beliau dibeberkan akan menelan kisah yang cukup panjang.
Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al_Hasani wafat pada malam jum’ah, 15 Sya’ban 1018 H atau bertepatan dengan tanggal 12 November 1609 M. Jasad beliau dimakamkan di bukit Lemah Lanang, Somalangu, Kebumen. Dan beliaulah orang pertama yang dimakamkan di tempat tersebut.
PRASASTI batu zamrud warna hijau seberat 90 kilogram itu masih tersimpan di Pondok Somalangu, Desa Sumberadi, Kecamatan Kebumen. Jika angka di prasasti tahun 979 Hijriyah atau 1475 Masehi benar, pondok tersebut sudah berdiri sebelum nama Kebumen muncul.
Perkiraan berdirinya Pesantren Al Kahfi Somalangu itu diungkapkan KH Afifuddin Chanif Al Hasani atau Gus Afif (40), selaku generasi penerus keturunan ke-16 dan pengasuh pesantren tersebut, Rabu kemarin.
Dia menuturkan, dari berbagai manuskrip dan kitab-kitab kuna yang tersimpan serta risalah sejarah, daerah Kebumen kala itu (1475-an) masih berupa rawa dan hutan. Bahkan daerah Somalangu dulunya hutan lebat.
Lalu siapa sebenarnya pendiri Somalangu? Menurut Gus Afif, pendirinya tidak lain Sayid Muhammad Ishom Al Hasani atau lebih dikenal dengan nama Syekh Abdul Kahfi. Dia ulama yang berasal dari Jamhar, Hadramaut di Yaman.
Konon awalnya Syekh Abdul Kahfi yang suka mengembara dari gua ke gua (sehingga dijuluki Abdul Kahfi), kali pertama mendarat di Pantai Karangbolong. Untuk hal yang satu ini tentu perlu penelitian lagi.
Namun Gus Afif menjelaskan, setelah mendarat di Pantai Karangbolong, Abdul Kahfi berjalan ke Karanganyar. Kala itu ada kampung sudah banyak penghuninya. Ulama dari Yaman itu lalu berhasil mengislamkan salah satu resi, bernama Darapundi. Menandai pengislamaan itu, desa tersebut dinamai Desa Candi.
Abdul Kahfi berjalan ke arah timur (Kebumen) hingga bertemu dua resi lagi, yaitu Candratirto dan Danutirto. Dua resi itu pun bisa menganut Islam dan dua desa tadi kemudian dinamai Desa Candimulyo dan Desa Candiwulan yang Berlokasi dekat dengan Somalangu Desa Sumberadi.
Gus Afif menjelaskan, dari anak keturunan Abdul Kahfi banyak yang menjadi ulama besar. Abdul Kahfi sendiri adalah ulama penasihat raja Raden Fatah Demak dan pernah mewakili Sunan Ampel dalam sebuah forum ulama membahas tentang pengikut Syekh Siti Jenar.
Pondok Somalangu juga masih menyimpan tanda kenang-kenangan dari Hang Tuah, tokoh ulama keturunan Cina Melayu yang pernah datang ke Somalangu. Masih banyak kisah sejarah belum tersibak dari manuskrip dan kitab-kitab kuna karya para leluhur Somalangu.

Cagar Budaya
Muhammad Baehaqi, selaku konsultan perintisan cagar budaya itu mengakui, dari kajian beberapa ahli purbakala yang datang ke Somalangu, memang pesantren tersebut pernah menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa. Pihaknya mengusulkan agar Pesantren Somalangu berikut peninggalannya dijadikan cagar budaya religius.
Awalnya memang ada pemikiran sederhana untuk mendirikan perpustakaan dan museum. Namun melihat aset budaya dan sejarah yang tersisa, mulai kitab-kitab lama, bangunan masjid tua, kawasan pondok, ada yoni dan lingga, serta perkampungan dengan rumah-rumah penduduk berarsitektur lama, kawasan Somalangu layak menjadi cagar budaya religius.
Menurut Gus Afif Al_Hasani (Pengasuh), khusus peninggalan kitab-kitab kuno dan manuskrip itu jumlahnya ribuan. Baru sebagian kecil telah dibaca dan dipelajari oleh ahli dari dinas kepurbakalaan Jateng. Karena itu dibutuhkan tempat sekaligus sistem perawatan naskah-naskah kuno yang erat dengan tinggalan sejarah itu. Tentu demi kepentingan ilmiah, wisata serta rekonstruksi sejarah.
Demikian pula Masjid Somalangu. Hampir sebagian besar bangunan masjid kuno itu masih seperti adanya. Mulai mustaka masjid, mimbar dan tiang utama. Hanya beberapa tembok dan halaman sudah direnovasi. Bangunan induk berupa saka guru dan mustaka masih asli, sebagaimana awal didirikan sekitar tahun 1475.
Sedangkan asrama pondok tempat belajar, sebagian masih menyisakan bangunan lama. Rumah panggung yang di bawahnya sekaligus ada kolam-kolam tempat wudlu pun masih tersisa. Kompleks pondok itu berjarak hanya nsekitar 1,5 kilometer dari jalan raya Kebumen-Kutoarjo

Sumber: sejarah.kompasiana.com

Selasa, 28 September 2010

Mobile chips battle for processing power

Inside your smartphone, a battle is raging. As tiny chips with big ambitions fight for processing power, is there anything the phones of the future will not be able to do?
High-definition TV and ultra-complex gaming - all in 3D - is a big task for any computer.
Especially as it tries to calculate the way the shadows should behave, or the way the light should reflect off each of the two million pixels on screen, 50 times a second.
Such complex graphics on home computers have only become possible in the last few years, as chip technology has caught up with designers' aspirations.
But in the future, mobile phones will be able to handle this and much more - thanks to the prototype chips being designed by one of the most quietly successful and profitable companies in IT - ARM.
ARM does not manufacture chips but rather designs them for other people to make.

Around 95% of the world's smartphones have an ARM chip inside and, although the company does not discuss its customers, it is widely believed that there is even an ARM chip inside Apple's iPad.
ARM designs are so popular with mobile manufacturers because of their low power consumption.
Whereas a home computer can draw more electricity from the mains when it needs to do something complicated, mobile devices need to manage their power consumption carefully, lest they suck their tiny batteries dry.

Snapdragon silicon
ARM's director of marketing, Laurence Bryant, says it is something that ARM, with its Reduced Instruction Set Computing, has specialised in for 20 years.
"In the mobile world, the primary driver has always been about low power and this seems to be taking the biggest traction in the industry right now.
"Once you have got that low power you can create low-cost and small form factors. You can have smaller batteries and you can be innovative with your form factor and your industrial design.
"As the manufacturing process in which chips are made has changed, we have been able to pack more and more performance into the same piece of silicon."
So much performance, in fact, that you will now find ARM inside bigger more powerful devices - tablet computers, e-readers and even netbook-style devices.

One of the best-known chips based on the architecture that ARM licenses to manufacturers is technology company Qualcomm's Snapdragon processor.
At Qualcomm's recent iQ showcase, prototype phones were sporting a new graphics processing unit, giving them graphical oomph to rival a desktop machine - running a 3D game, showing four HD videos at once and rendering real-time mapping applications with 3D graphics.
Intel is the world's biggest chip maker - open a PC and there is a very good chance that you will find, to coin its own marketing slogan, Intel inside.
But there is not a single smartphone in the world that has the same credentials. So why not? After all, Intel do have a low-power chip, the Atom, which is widely used in netbooks.

Heavily-armed market
Ian Fogg of Forrester Research explains that Intel have had limited success pushing the Atom into smaller devices.
"Part of the problem is, they are coming from the PC market and they are having to design something that is super efficient.
"There are already established players in mobile and having completely different technology means a company does not just have to change the processor, but they have to change other parts of their product that tie in to the processor.
"It is quite a big decision for a company to switch away from ARM technology to something very different."
The chip Intel is hoping to break into the smartphone market with is a version of the Atom - codenamed Moorestown and laden with amazing claims about power efficiency and performance.

But so far, there has only been one smartphone demo with the Moorestown chipset inside and soon after its unveiling at consumer technology tradeshow CES in January, its development was halted.
Speaking at the show, Intel's chief executive Paul Otellini did not seem convinced that smartphones were the future at all.
"I think a lot of the growth is going to be mobile, in all form factors. It is way too early to decide which form factor is going to win - the laptop, the netbook, the smartphone. For the foreseeable future they are all going to thrive."
Intel argues that since we will expect a full PC experience from tomorrow's mobile devices, it makes sense to have the same make of chips in both, to ensure full compatibility.
That is why it says its Moorestown smartphones, now scheduled for 2011, are the sensible choice of architecture.
But with Nokia launching its latest ARM-powered devices this week, and Samsung announcing its first dual core ARM processor for smartphones and tablets, Intel may well find it difficult to force its way into an already heavily armed market.

Keris

Keris adalah senjata tikam khas Indonesia. Berdasarkan dokumen-dokumen purbakala, keris dalam bentuk awal telah digunakan sejak abad ke-9. Kuat kemungkinannya bahwa keris telah digunakan sebelum masa tersebut. Menteri Kebudyaan Indonesia, Jero Wacik telah membawa keris ke UNESCO dan meminta jaminan bahwa ini adalah warisan budaya Indonesia. Penggunaan keris sendiri tersebar di masyarakat rumpun Melayu. Pada masa sekarang, keris umum dikenal di daerah Indonesia (terutama di daerah Jawa, Madura, Bali/Lombok, Sumatra, sebagian Kalimantan, serta sebagian Sulawesi), Malaysia, Brunei, Thailand, dan Filipina (khususnya di daerah Mindanao). Di Mindanao, bentuk senjata yang juga disebut keris tidak banyak memiliki kemiripan meskipun juga merupakan senjata tikam.
Keris memiliki berbagai macam bentuk, misalnya ada yang bilahnya berkelok-kelok (selalu berbilang ganjil) dan ada pula yang berbilah lurus. Orang Jawa menganggap perbedaan bentuk ini memiliki efek esoteri yang berbeda.
Selain digunakan sebagai senjata, keris juga sering dianggap memiliki kekuatan supranatural. Senjata ini sering disebut-sebut dalam berbagai legenda tradisional, seperti keris Mpu Gandring dalam legenda Ken Arok dan Ken Dedes.
Tata cara penggunaan keris berbeda-beda di masing-masing daerah. Di daerah Jawa dan Sunda misalnya, keris ditempatkan di pinggang bagian belakang pada masa damai tetapi ditempatkan di depan pada masa perang. Sementara itu, di Sumatra, Kalimantan, Malaysia, Brunei dan Filipina, keris ditempatkan di depan.
Selain keris, masih terdapat sejumlah senjata tikam lain di wilayah Nusantara, seperti rencong dari Aceh, badik dari Sulawesi serta kujang dari Jawa Barat. Keris dibedakan dari senjata tikam lain terutama dari bilahnya. Bilah keris tidak dibuat dari logam tunggal yang dicor tetapi merupakan campuran berbagai logam yang berlapis-lapis. Akibat teknik pembuatan ini, keris memiliki kekhasan berupa pamor pada bilahnya.

Bagian-bagian keris
Beberapa istilah di bagian ini diambil dari tradisi Jawa, semata karena rujukan yang tersedia.
Sebagian ahli tosan aji mengelompokkan keris sebagai senjata tikam, sehingga bagian utama dari sebilah keris adalah wilah (bilah) atau bahasa awamnya adalah seperti mata pisau. Tetapi karena keris mempunyai kelengkapan lainnya, yaitu warangka (sarung) dan bagian pegangan keris atau ukiran, maka kesatuan terhadap seluruh kelengkapannya disebut keris.

Pegangan keris atau hulu keris
Pegangan keris (bahasa Jawa: gaman) ini bermacam-macam motifnya, untuk keris Bali ada yang bentuknya menyerupai patung dewa, patung pedande, patung raksaka, patung penari , pertapa, hutan ,dan ada yang diukir dengan kinatah emas dan batu mulia.
Pegangan keris Sulawesi menggambarkan burung laut. Hal itu sebagai perlambang terhadap sebagian profesi masyarakat Sulawesi yang merupakan pelaut, sedangkan burung adalah lambang dunia atas keselamatan. Seperti juga motif kepala burung yang digunakan pada keris Riau Lingga, dan untuk daerah-daerah lainnya sebagai pusat pengembangan tosan aji seperti Aceh, Bangkinang (Riau) , Palembang, Sambas, Kutai, Bugis, Luwu, Jawa, Madura dan Sulu, keris mempunyai ukiran dan perlambang yang berbeda. Selain itu, materi yang dipergunakan pun berasal dari aneka bahan seperti gading, tulang, logam, dan yang paling banyak yaitu kayu.
Untuk pegangan keris Jawa, secara garis besar terdiri dari sirah wingking ( kepala bagian belakang ) , jiling, cigir, cetek, bathuk (kepala bagian depan) ,weteng dan bungkul.

Warangka atau sarung keris
Warangka, atau sarung keris (bahasa Banjar : kumpang), adalah komponen keris yang mempunyai fungsi tertentu, khususnya dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, paling tidak karena bagian inilah yang terlihat secara langsung. Warangka yang mula-mula dibuat dari kayu (yang umum adalah jati, cendana, timoho, dan kemuning). Sejalan dengan perkembangan zaman terjadi penambahan fungsi wrangka sebagai pencerminan status sosial bagi penggunanya. Bagian atasnya atau ladrang-gayaman sering diganti dengan gading.
Secara garis besar terdapat dua bentuk warangka, yaitu jenis warangka ladrang yang terdiri dari bagian-bagian : angkup, lata, janggut, gandek, godong (berbentuk seperti daun), gandar, ri serta cangkring. Dan jenis lainnya adalah jenis wrangka gayaman (gandon) yang bagian-bagiannya hampir sama dengan wrangka ladrang tetapi tidak terdapat angkup, godong, dan gandek.
Aturan pemakaian bentuk wrangka ini sudah ditentukan, walaupun tidak mutlak. Wrangka ladrang dipakai untuk upacara resmi , misalkan menghadap raja, acara resmi keraton lainnya (penobatan, pengangkatan pejabat kerajaan, perkawinan, dll) dengan maksud penghormatan. Tata cara penggunaannya adalah dengan menyelipkan gandar keris di lipatan sabuk (stagen) pada pinggang bagian belakang (termasuk sebagai pertimbangan untuk keselamatan raja ). Sedangkan wrangka gayaman dipakai untuk keperluan harian, dan keris ditempatkan pada bagian depan (dekat pinggang) ataupun di belakang (pinggang belakang).
Dalam perang, yang digunakan adalah keris wrangka gayaman , pertimbangannya adalah dari sisi praktis dan ringkas, karena wrangka gayaman lebih memungkinkan cepat dan mudah bergerak, karena bentuknya lebih sederhana.
Ladrang dan gayaman merupakan pola-bentuk wrangka, dan bagian utama menurut fungsi wrangka adalah bagian bawah yang berbentuk panjang ( sepanjang wilah keris ) yang disebut gandar atau antupan ,maka fungsi gandar adalah untuk membungkus wilah (bilah) dan biasanya terbuat dari kayu ( dipertimbangkan untuk tidak merusak wilah yang berbahan logam campuran ) .
Karena fungsi gandar untuk membungkus , sehingga fungsi keindahannya tidak diutamakan, maka untuk memperindahnya akan dilapisi seperti selongsong-silinder yang disebut pendok . Bagian pendok ( lapisan selongsong ) inilah yang biasanya diukir sangat indah , dibuat dari logam kuningan, suasa ( campuran tembaga emas ) , perak, emas . Untuk daerah diluar Jawa ( kalangan raja-raja Bugis , Goa, Palembang, Riau, Bali ) pendoknya terbuat dari emas , disertai dengan tambahan hiasan seperti sulaman tali dari emas dan bunga yang bertaburkan intan berlian.
Untuk keris Jawa , menurut bentuknya pendok ada tiga macam, yaitu (1) pendok bunton berbentuk selongsong pipih tanpa belahan pada sisinya , (2) pendok blewah (blengah) terbelah memanjang sampai pada salah satu ujungnya sehingga bagian gandar akan terlihat , serta (3) pendok topengan yang belahannya hanya terletak di tengah . Apabila dilihat dari hiasannya, pendok ada dua macam yaitu pendok berukir dan pendok polos (tanpa ukiran).

Wilah
Wilah atau wilahan adalah bagian utama dari sebuah keris, dan juga terdiri dari bagian-bagian tertentu yang tidak sama untuk setiap wilahan, yang biasanya disebut dapur, atau penamaan ragam bentuk pada wilah-bilah (ada puluhan bentuk dapur). Sebagai contoh, bisa disebutkan dapur jangkung mayang, jaka lola , pinarak, jamang murub, bungkul , kebo tedan, pudak sitegal, dll.
Pada pangkal wilahan terdapat pesi , yang merupakan ujung bawah sebilah keris atau tangkai keris. Bagian inilah yang masuk ke pegangan keris ( ukiran) . Pesi ini panjangnya antara 5 cm sampai 7 cm, dengan penampang sekitar 5 mm sampai 10 mm, bentuknya bulat panjang seperti pensil. Di daerah Jawa Timur disebut paksi, di Riau disebut puting, sedangkan untuk daerah Serawak, Brunei dan Malaysia disebut punting.
Pada pangkal (dasar keris) atau bagian bawah dari sebilah keris disebut ganja (untuk daerah semenanjung Melayu menyebutnya aring). Di tengahnya terdapat lubang pesi (bulat) persis untuk memasukkan pesi, sehingga bagian wilah dan ganja tidak terpisahkan. Pengamat budaya tosan aji mengatakan bahwa kesatuan itu melambangkan kesatuan lingga dan yoni, dimana ganja mewakili lambang yoni sedangkan pesi melambangkan lingganya. Ganja ini sepintas berbentuk cecak, bagian depannya disebut sirah cecak, bagian lehernya disebut gulu meled , bagian perut disebut wetengan dan ekornya disebut sebit ron. Ragam bentuk ganja ada bermacam-macam, wilut , dungkul , kelap lintah dan sebit rontal.
Luk, adalah bagian yang berkelok dari wilah-bilah keris, dan dilihat dari bentuknya keris dapat dibagi dua golongan besar, yaitu keris yang lurus dan keris yang bilahnya berkelok-kelok atau luk. Salah satu cara sederhana menghitung luk pada bilah , dimulai dari pangkal keris ke arah ujung keris, dihitung dari sisi cembung dan dilakukan pada kedua sisi seberang-menyeberang (kanan-kiri), maka bilangan terakhir adalah banyaknya luk pada wilah-bilah dan jumlahnya selalu gasal ( ganjil) dan tidak pernah genap, dan yang terkecil adalah luk tiga (3) dan terbanyak adalah luk tiga belas (13). Jika ada keris yang jumlah luk nya lebih dari tiga belas, biasanya disebut keris kalawija, atau keris tidak lazim.

Tangguh keris
Di bidang perkerisan dikenal pengelompokan yang disebut tangguh yang dapat berarti periode pembuatan atau gaya pembuatan. Hal ini serupa dengan misalnya dengan tari Jawa gaya Yogyakarta dan Surakarta. Pemahaman akan tangguh akan membantu mengenali ciri-ciri fisik suatu keris.
Beberapa tangguh yang biasa dikenal:
* tangguh Majapahit
* tangguh Pajajaran
* tangguh Mataram
* tangguh Yogyakarta
* tangguh Surakarta.

Sejarah
Asal keris yang kita kenal saat ini masih belum terjelaskan betul. Relief candi di Jawa lebih banyak menunjukkan ksatria-ksatria dengan senjata yang lebih banyak unsur India-nya.

Keris Buddha dan pengaruh India-Tiongkok
Kerajaan-kerajaan awal Indonesia sangat terpengaruh oleh budaya Buddha dan Hindu. Candi di Jawa tengah adalah sumber utama mengenai budaya zaman tersebut. Yang mengejutkan adalah sedikitnya penggunaan keris atau sesuatu yang serupa dengannya. Relief di Borobudur tidak menunjukkan pisau belati yang mirip dengan keris.
Dari penemuan arkeologis banyak ahli yang setuju bahwa proto-keris berbentuk pisau lurus dengan bilah tebal dan lebar. Salah satu keris tipe ini adalah keris milik keluarga Knaud, didapat dari Sri Paku Alam V. Keris ini relief di permukaannya yang berisi epik Ramayana dan terdapat tahun Jawa 1264 (1342 Masehi), meski ada yang meragukan penanggalannya.
Pengaruh kebudayaan Tiongkok mungkin masuk melalui kebudayaan Dongson (Vietnam) yang merupakan penghubung antara kebudayaan Tiongkok dan dunia Melayu. Terdapat keris sajen yang memiliki bentuk gagang manusia sama dengan belati Dongson.

Keris “Modern”
Keris yang saat ini kita kenal adalah hasil proses evolusi yang panjang. Keris modern yang dikenal saat ini adalah belati penusuk yang unik. Keris memperoleh bentuknya pada masa Majapahit (abad ke-14) dan Kerajaan Mataram baru (abad ke-17-18).
Pemerhati dan kolektor keris lebih senang menggolongkannya sebagai “keris kuno” dan “keris baru” yang istilahnya disebut nem-neman ( muda usia atau baru ). Prinsip pengamatannya adalah “keris kuno” yang dibuat sebelum abad 19 masih menggunakan bahan bijih logam mentah yang diambil dari sumber alam-tambang-meteor ( karena belum ada pabrik peleburan bijih besi, perak, nikel dll), sehingga logam yang dipakai masih mengandung banyak jenis logam campuran lainnya, seperti bijih besinya mengandung titanium, cobalt, perak, timah putih, nikel, tembaga dll. Sedangkan keris baru ( setelah abad 19 ) biasanya hanya menggunakan bahan besi, baja dan nikel dari hasil peleburan biji besi, atau besi bekas ( per sparepart kendaraan, besi jembatan, besi rel kereta api dll ) yang rata-rata adalah olahan pabrik, sehingga kemurniannya terjamin atau sedikit sekali kemungkinannya mengandung logam jenis lainnya. Misalkan penelitian Haryono Arumbinang, Sudyartomo dan Budi Santosa ( sarjana nuklir BATAN Yogjakarta ) pada era 1990, menunjukkan bahwa sebilah keris dengan tangguh Tuban, dapur Tilam Upih dan pamor Beras Wutah ternyata mengandung besi (fe) , arsenikum (warangan )dan Titanium (Ti), menurut peneliti tersebut bahwa keris tersebut adalah “keris kuno” , karena unsur logam titanium ,baru ditemukan sebagai unsur logam mandiri pada sekitar tahun 1940, dan logam yang kekerasannya melebihi baja namun jauh lebih ringan dari besi, banyak digunakan sebagai alat transportasi modern (pesawat terbang, pesawat luar angkasa) ataupun roket, jadi pada saat itu teknologi tersebut belum hadir di Indonesia. Titanium banyak diketemukan pada batu meteorit dan pasir besi biasanya berasal dari daerah Pantai Selatan dan juga Sulawesi. Dari 14 keris yang diteliti , rata-rata mengandung banyak logam campuran jenis lain seperti cromium, stanum, stibinium, perak, tembaga dan seng, sebanyak 13 keris tersebut mengandung titanium dan hanya satu keris yang mengandung nikel.
Keris baru dapat langsung diketahui kandungan jenis logamnya karena para Mpu ( pengrajin keris) membeli bahan bakunya di toko besi, seperti besi, nikel, kuningan dll. Mereka tidak menggunakan bahan dari bijih besi mentah ( misalkan diambil dari pertambangan ) atau batu meteorit , sehingga tidak perlu dianalisis dengan isotop radioaktif. Sehingga kalau ada keris yang dicurigai sebagai hasil rekayasa , atau keris baru yang berpenampilan keris kuno maka penelitian akan mudah mengungkapkannya.

Sumber : Disarikan dari hasil Sarasehan Pameran Seni Tosan Aji, Bentara Budaya Jakarta, Budiarto Danujaya, Jakarta, 1996

ANGKLUNG

Angklung adalah alat musik tradisional yang berasal dari Jawa Barat, terbuat dari bambu, yang dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Laras (nada) alat musik angklung sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan adalah salendro dan pelog.

Asal-usul Angklung
Dalam rumpun kesenian yang menggunakan alat musik dari bambu dikenal jenis kesenian yang disebut angklung. Adapun jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah awi wulung (bambu berwarna hitam) dan awi temen (bambu berwarna putih). Purwa rupa alat musik angklung; tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk wilahan (batangan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.
Angklung merupakan alat musik yang berasal dari Jawa Barat. Angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke Bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.
Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip).
Perenungan masyarakat Sunda dahulu dalam mengolah pertanian (tatanen) terutama di sawah dan huma telah melahirkan penciptaan syair dan lagu sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Nyai Sri Pohaci, serta upaya nyinglar (tolak bala) agar cocok tanam mereka tidak mengundang malapetaka, baik gangguan hama maupun bencana alam lainnya. Syair lagu buhun untuk menghormati Nyi Sri Pohaci tersebut misalnya:
Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Perkembangan selanjutnya dalam permainan Angklung tradisi disertai pula dengan unsur gerak dan ibing (tari) yang ritmis (ber-wirahma) dengan pola dan aturan=aturan tertentu sesuai dengan kebutuhan upacara penghormatan padi pada waktu mengarak padi ke lumbung (ngampih pare, nginebkeun), juga pada saat-saat mitembeyan, mengawali menanam padi yang di sebagian tempat di Jawa Barat disebut ngaseuk.
Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.
Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.
Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena —tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda— mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.

Angklung Kanekes
Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka orang Baduy) digunakan terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Menabuh angklung ketika menanam padi ada yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, masih bisa ditampilkan di luar ritus padi tetapi tetap mempunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup angklung dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai. Dalam sajian hiburan, Angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain: Lutung Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala, Ceuk Arileu, Oray-orayan, Dengdang, Yari Gandang, Oyong-oyong Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran, Ayun-ayunan, Pileuleuyan, Gandrung Manggu, Rujak Gadung, Mulung Muncang, Giler, Ngaranggeong, Aceukna, Marengo, Salak Sadapur, Rangda Ngendong, Celementre, Keupat Reundang, Papacangan, dan Culadi Dengdang. Para penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat Daduy Dalam, mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan pamali (pantangan; tabu), tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual.
Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel. Roel yang terdiri dari 2 buah angklung dipegang oleh seorang. Nama-nama bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan ketuk. Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak 3 buah. Di Kajeroan; kampung Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di Kajeroan, kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan ketuk.
Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero). Kajeroan terdiri dari 3 kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua orang bisa membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung di Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga kampung tersebut.

Angklung Dogdog Lojor
Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan jakarta, Bogor, dan Lebak). Meski kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena kaitannya dengan acara ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.
Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh adat lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan prajurit keraton Pajajaran dalam baresan Pangawinan (prajurit bertombak). Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak terbuka akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya. Instrumen yang digunakan dalam kesenian dogdog lojor adalah 2 buah dogdog lojor dan 4 buah angklung besar. Keempat buah angklung ini mempunyai nama, yang terbesar dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking, dan inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah enam orang.
Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya Bale Agung, Samping Hideung, Oleng-oleng Papanganten, Si Tunggul Kawung, Adulilang, dan Adu-aduan. Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis dogdog dan angklung cenderung tetap.

Angklung Gubrag
Angklung gubrag terdapat di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung).
Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa kampung Cipining mengalami musim paceklik.

Angklung Badeng
Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan angklung sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Tetapi diduga badeng telah digunakan masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang berhubungan dengan ritual penanaman padi. Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya berkembang sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau 17. Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen dan Nursaen, belajar agama Islam ke kerajaan Demak. Setelah pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan kesenian badeng.
Angklung yang digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu 2 angklung roel, 1 angklung kecer, 4 angklung indung dan angklung bapa, 2 angklung anak; 2 buah dogdog, 2 buah terbang atau gembyung, serta 1 kecrek. Teksnya menggunakan bahasa Sunda yang bercampur dengan bahasa Arab. Dalam perkembangannya sekarang digunakan pula bahasa Indonesia. Isi teks memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik, serta menurut keperluan acara. Dalam pertunjukannya selain menyajikan lagu-lagu, disajikan pula atraksi kesaktian, seperti mengiris tubuh dengan senjata tajam.
Lagu-lagu badeng: Lailahaileloh, Ya’ti, Kasreng, Yautike, Lilimbungan, Solaloh.

Buncis
Buncis merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di antaranya terdapat di Baros (Arjasari, Bandung). Pada mulanya buncis digunakan pada acara-acara pertanian yang berhubungan dengan padi. Tetapi pada masa sekarang buncis digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini berhubungan dengan semakin berubahnya pandangan masyarakat yang mulai kurang mengindahkan hal-hal berbau kepercayaan lama. Tahun 1940-an dapat dianggap sebagai berakhirnya fungsi ritual buncis dalam penghormatan padi, karena sejak itu buncis berubah menjadi pertunjukan hiburan. Sejalan dengan itu tempat-tempat penyimpanan padi pun (leuit; lumbung) mulai menghilang dari rumah-rumah penduduk, diganti dengan tempat-tempat karung yang lebih praktis, dan mudah dibawa ke mana-mana. Padi pun sekarang banyak yang langsung dijual, tidak disimpan di lumbung. Dengan demikian kesenian buncis yang tadinya digunakan untuk acara-acara ngunjal (membawa padi) tidak diperlukan lagi.
Nama kesenian buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu yang terkenal di kalangan rakyat, yaitu cis kacang buncis nyengcle…, dst. Teks tersebut terdapat dalam kesenian buncis, sehingga kesenian ini dinamakan buncis.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis adalah 2 angklung indung, 2 angklung ambrug, angklung panempas, 2 angklung pancer, 1 angklung enclok. Kemudian 3 buah dogdog, terdiri dari 1 talingtit, panembal, dan badublag. Dalam perkembangannya kemudian ditambah dengan tarompet, kecrek, dan goong. Angklung buncis berlaras salendro dengan lagu vokal bisa berlaras madenda atau degung. Lagu-lagu buncis di antaranya: Badud, Buncis, Renggong, Senggot, Jalantir, Jangjalik, Ela-ela, Mega Beureum. Sekarang lagu-lagu buncis telah menggunakan pula lagu-lagu dari gamelan, dengan penyanyi yang tadinya laki-laki pemain angklung, kini oleh wanita khusus untuk menyanyi.
Dari beberapa jenis musik bambu di Jawa Barat (Angklung) di atas, adalah beberapa contoh saja tentang seni pertunjukan angklung, yang terdiri atas: Angklung Buncis (Priangan/Bandung), Angklung Badud (Priangan Timur/Ciamis), Angklung Bungko (Indramayu), Angklung Gubrag (Bogor), Angklung Ciusul (Banten), Angklung Dog dog Lojor (Sukabumi), Angklung Badeng (Malangbong, Garut), dan Angklung Padaeng yang identik dengan Angklung Nasional dengan tangga nada diatonis, yang dikembangkan sejak tahun 1938. Angklung khas Indonesia ini berasal dari pengembangan angklung Sunda. Angklung Sunda yang bernada lima (salendro atau pelog) oleh Daeng Sutigna alias Si Etjle (1908—1984) diubah nadanya menjadi tangga nada Barat (solmisasi) sehingga dapat memainkan berbagai lagu lainnya. Hasil pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-siswa sekolah dan dimainkan secara orkestra besar.

Sumber : Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Tari Jaipong

Jaipongan adalah sebuah genre seni tari yang lahir dari kreativitas seorang seniman asal Bandung, Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian di atas cukup memiliki inspirasi untuk mengembangkan tari atau kesenian yang kini dikenal dengan nama Jaipongan. Sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang melatarbelakangi bentuk tari pergaulan ini. Di Jawa Barat misalnya, tari pergaulan merupakan pengaruh dari Ball Room, yang biasanya dalam pertunjukan tari-tari pergaulan tak lepas dari keberadaan ronggeng dan pamogoran. Ronggeng dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau cara gaul. Keberadaan ronggeng dalam seni pertunjukan memiliki daya tarik yang mengundang simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu dikenal oleh masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini populer sekitar tahun 1916. Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya didukung oleh unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi rebab, kendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang baku, kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan.
Seiring dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran (penonton yang berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu/Doger/Tayub) beralih perhatiannya pada seni pertunjukan Kliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa Barat (Karawang, Bekasi, Purwakarta, Indramayu, dan Subang) dikenal dengan sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya maupun peristiwa pertunjukannya mempunyai kemiripan dengan kesenian sebelumnya (Ketuk Tilu/Doger/Tayub). Dalam pada itu, eksistensi tari-tarian dalam Topeng Banjet cukup digemari, khususnya di Karawang, di mana beberapa pola gerak Bajidoran diambil dari tarian dalam Topeng Banjet ini. Secara koreografis tarian itu masih menampakan pola-pola tradisi (Ketuk Tilu) yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi dasar penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari Jaipongan selain dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah Tayuban dan Pencak Silat.
Kemunculan tarian karya Gugum Gumbira pada awalnya disebut Ketuk Tilu perkembangan, yang memang karena dasar tarian itu merupakan pengembangan dari Ketuk Tilu. Karya pertama Gugum Gumbira masih sangat kental dengan warna ibing Ketuk Tilu, baik dari segi koreografi maupun iringannya, yang kemudian tarian itu menjadi populer dengan sebutan Jaipongan.

Berkembang
Karya Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari “Daun Pulus Keser Bojong” dan “Rendeng Bojong” yang keduanya merupakan jenis tari putri dan tari berpasangan (putra dan putri). Dari tarian itu muncul beberapa nama penari Jaipongan yang handal seperti Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli Somali, dan Pepen Dedi Kurniadi. Awal kemunculan tarian tersebut sempat menjadi perbincangan, yang isu sentralnya adalah gerakan yang erotis dan vulgar. Namun dari ekspos beberapa media cetak, nama Gugum Gumbira mulai dikenal masyarakat, apalagi setelah tari Jaipongan pada tahun 1980 dipentaskan di TVRI stasiun pusat Jakarta. Dampak dari kepopuleran tersebut lebih meningkatkan frekuensi pertunjukan, baik di media televisi, hajatan maupun perayaan-perayaan yang diselenggarakan oleh pihak swasta dan pemerintah.
Kehadiran Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para penggiat seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang perhatian. Dengan munculnya tari Jaipongan, dimanfaatkan oleh para penggiat seni tari untuk menyelenggarakan kursus-kursus tari Jaipongan, dimanfaatkan pula oleh pengusaha pub-pub malam sebagai pemikat tamu undangan, dimana perkembangan lebih lanjut peluang usaha semacam ini dibentuk oleh para penggiat tari sebagai usaha pemberdayaan ekonomi dengan nama Sanggar Tari atau grup-grup di beberapa daerah wilayah Jawa Barat, misalnya di Subang dengan Jaipongan gaya “kaleran” (utara).
Ciri khas Jaipongan gaya kaleran, yakni keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas, dan kesederhanaan (alami, apa adanya). Hal itu tercermin dalam pola penyajian tari pada pertunjukannya, ada yang diberi pola (Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga ada pula tarian yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada seni Jaipongan Subang dan Karawang. Istilah ini dapat kita temui pada Jaipongan gaya kaleran, terutama di daerah Subang. Dalam penyajiannya, Jaipongan gaya kaleran ini, sebagai berikut: 1) Tatalu; 2) Kembang Gadung; 3) Buah Kawung Gopar; 4) Tari Pembukaan (Ibing Pola), biasanya dibawakan oleh penari tunggal atau Sinden Tatandakan (serang sinden tapi tidak bisa nyanyi melainkan menarikan lagu sinden/juru kawih); 5) Jeblokan dan Jabanan, merupakan bagian pertunjukan ketika para penonton (bajidor) sawer uang (jabanan) sambil salam tempel. Istilah jeblokan diartikan sebagai pasangan yang menetap antara sinden dan penonton (bajidor).
Perkembangan selanjutnya tari Jaipongan terjadi pada taahun 1980-1990-an, di mana Gugum Gumbira menciptakan tari lainnya seperti Toka-toka, Setra Sari, Sonteng, Pencug, Kuntul Mangut, Iring-iring Daun Puring, Rawayan, dan Tari Kawung Anten. Dari tarian-tarian tersebut muncul beberapa penari Jaipongan yang handal antara lain Iceu Effendi, Yumiati Mandiri, Miming Mintarsih, Nani, Erna, Mira Tejaningrum, Ine Dinar, Ega, Nuni, Cepy, Agah, Aa Suryabrata, dan Asep.
Dewasa ini tari Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu identitas keseniaan Jawa Barat, hal ini nampak pada beberapa acara-acara penting yang berkenaan dengan tamu dari negara asing yang datang ke Jawa Barat, maka disambut dengan pertunjukan tari Jaipongan. Demikian pula dengan misi-misi kesenian ke manca negara senantiasa dilengkapi dengan tari Jaipongan. Tari Jaipongan banyak mempengaruhi kesenian-kesenian lain yang ada di masyarakat Jawa Barat, baik pada seni pertunjukan wayang, degung, genjring/terbangan, kacapi jaipong, dan hampir semua pertunjukan rakyat maupun pada musik dangdut modern yang dikolaborasikan dengan Jaipong menjadi kesenian Pong-Dut.Jaipongan yang telah diplopori oleh Mr. Nur & Leni

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Jumat, 10 September 2010

Mobil korban serangan bom

5 Mei 2007 telah terjadi serangan bom di sekitat toko buku Baghdad Al-Mutanabbi yang menewaskan 38 jiwa dan puluhan lain cedera.
Uniknya seorang yang bernama Jeremy Turner membawa sebuah mobil yang sudah usang dan karatan yang pada waktu itu korban dari serangan bom tersebut ke London Inggris untuk di pamerkan di Imperial War Museum.




Rabu, 08 September 2010

Google Instant promises live search results

Google has sped up its internet search engine by launching a new product, Google Instant, that displays results as soon as users type in queries.

"This is search at the speed of thought. It represents a quantum leap in search," the company said.
Previously Google's suggested search terms and did not reveal results until the "enter" key was hit or the "search" button was clicked.
Google Instant goes live in the next week and on mobile devices by autumn.
It will be rolled out in US on Wednesday and in the UK, Spain, Germany, France and Russia during the coming week.

Challenge to Microsoft? In a demo event held at San Francisco's Museum of Modern Art, Marissa Mayer, Google's vice-president of search
As typed, results appeared instantly for "SF MOMA" - the first predicted search result.
In another demo, when the letter "w" was entered, a list of links offering the "weather" appeared along with images showing the temperature.
"We've actually predicting what query you are likely to do and we're giving you results for that," said Ms Mayer.
Google estimates that the typical user spends nine seconds entering a query and 15 seconds looking for answers.
The company says Google Instant could shave between two and five seconds off a typical web search.
"Google is betting all they have that speed is everything," Harry McCracken of technology blog Technologizer.com told the BBC.
"Saving one or two seconds isn't that big of a deal. One of my instant thoughts is that I am going to see results I don't want because until I type enough that it knows what I want, it is going to show me links I am not interested in."
Technology commentator Robert Scoble said that the new feature would present a real challenge to Microsoft and its search engine Bing, which has been slowly chipping away at Google's lead in the search market.
"Playing with it, it dramatically changes the way I do searches. I think it is a pretty major leap forward but this means that Bing becomes far less interesting and they now have to step up," said Mr Scoble.
products and user experience, typed in "sfm" into the search box to demonstrate the new service.

Selasa, 07 September 2010

Cyberwarfare, North Korea, Rupert Murdoch and... The Big Lebowski ?

Say it ain't so! The Dude, Jeff Bridges' pot-head bowling anti-hero of film The Big Lebowski, has managed to get himself tied up with Kim Jong Il's North Korean regime.
According to a Bloomberg article, programmers from North Korea's General Federal of Science and Technology developed mobile phone games Big Lebowski Bowling and Men in Black: Alien Assault in 2007.
The games were both published by Ojom Gmbh, a unit of mobile game publisher Jamba, which was later purchased by News Corp. and renamed Fox Mobile. Both games came out after Rupert Murdoch's News Corp. took a controlling interest in the publisher, but before the company was taken over completely.
The seeming connection between the game and North Korea first came out today in the Bloomberg article which says these games "represent a growing software industry championed by Kim that is boosting the economy of one of the poorest countries in the world and raising the technological skills of workers."
Skills that could in theory be put to use bolstering the countries cyberwarfare capabilities. South Korea has said in the past that North Korea has been responsible for extensive cyber attacks in the past.
The Bloomberg article goes on to quote James Lewis, a senior fellow at the Center for Strategic and International Studies, a Washington-based policy group, about the downside of buying North Korean-produced products. Lewis says that giving North Korea cash works against U.S. policy and warns about the possibility of strengthening Kim's cyber-espionage capabilities.
There's a lot of dot connecting going on in the article, but the final picture the article seems to draw for us doesn't seem too far beyond the scope of reason.
Their conclusion seems strengthened by Fox Mobile spokeswoman Juliane Walther in Berlin, who tells Bloomberg that the company has "xtensive partnerships with content producers in all areas, with operators, and with the biggest media companies worldwide, including various Asian companies." She then declines to be more specific about the company's partners and where they are based.
The other side of the coin, of course, is that more money for North Korea means less misfortune, perhaps, for its citizens and more modernization.

kotaku.com

Indonesia

Background
The Dutch began to colonize Indonesia in the early 17th century; Japan occupied the islands from 1942 to 1945. Indonesia declared its independence after Japan’s surrender, but it required four years of intermittent negotiations, recurring hostilities, and UN mediation before the Netherlands agreed to transfer sovereignty in 1949. Indonesia’s first free parliamentary election after decades of repressive rule took place in 1999. Indonesia is now the world’s third-largest democracy, the world’s largest archipelagic state, and home to the world’s largest Muslim population. Current issues include: alleviating poverty, improving education, preventing terrorism, consolidating democracy after four decades of authoritarianism, implementing economic and financial reforms, stemming corruption, holding the military and police accountable for past human rights violations, addressing climate change, and controlling avian influenza. In 2005, Indonesia reached a historic peace agreement with armed separatists in Aceh, which led to democratic elections in Aceh in December 2006. Indonesia continues to face a low intensity separatist movement in Papua.


Geography
Archipelago of 17,508 islands (6,000 inhabited); straddles equator; strategic location astride or along major sea lanes from Indian Ocean to Pacific Ocean
Location: Southeastern Asia, archipelago between the Indian Ocean and the Pacific Ocean
Geographic coordinates: 5 00 S, 120 00 E
Area: total: 1,904,569 sq km land: 1,811,569 sq km water: 93,000 sq km
Size comparison: slightly less than three times the size of Texas
Land Boundaries: total: 2,830 km border countries: Timor-Leste 228 km, Malaysia 1,782 km, Papua New Guinea 820 km
Coastline: 54,716 km
Maritime claims: measured from claimed archipelagic straight baselines territorial sea: 12 nm exclusive economic zone: 200 nm
Climate: tropical; hot, humid; more moderate in highlands
Terrain: mostly coastal lowlands; larger islands have interior mountains
Elevation extremes: lowest point: Indian Ocean 0 m highest point: Puncak Jaya 5,030 m
Natural resources: petroleum, tin, natural gas, nickel, timber, bauxite, copper, fertile soils, coal, gold, silver
Land use: arable land: 11.03% permanent crops: 7.04% other: 81.93% (2005)
Irrigated land: 45,000 sq km (2003)
Natural hazards: occasional floods; severe droughts; tsunamis; earthquakes; volcanoes; forest fires
Current Environment Issues: deforestation; water pollution from industrial wastes, sewage; air pollution in urban areas; smoke and haze from forest fires
International Environment Agreements: party to: Biodiversity, Climate Change, Climate Change-Kyoto Protocol, Desertification, Endangered Species, Hazardous Wastes, Law of the Sea, Ozone Layer Protection, Ship Pollution, Tropical Timber 83, Tropical Timber 94, Wetlands signed, but not ratified: Marine Life Conservation

People
Population: 240,271,522 (July 2009 est.) country comparison to the world: 4
Age structure: 0-14 years: 28.1% (male 34,337,341/female 33,162,207) 15-64 years: 66% (male 79,549,569/female 78,918,321) 65 years and over: 6% (male 6,335,208/female 7,968,876) (2009 est.)
Median age: total: 27.6 years male: 27.1 years female: 28.1 years (2009 est.)
Population growth rate: 1.136% (2009 est.)
Birth rate: 18.84 births/1,000 population (2009 est.)
Death rate: 6.25 deaths/1,000 population (July 2009 est.)
Net migration rate: -1.24 migrant(s)/1,000 population (2009 est.)
Sex ratio: at birth: 1.05 male(s)/female under 15 years: 1.03 male(s)/female 15-64 years: 1.01 male(s)/female 65 years and over: 0.8 male(s)/female total population: 1 male(s)/female (2009 est.)
Infant mortality rate: total: 29.97 deaths/1,000 live births male: 34.93 deaths/1,000 live births female: 24.77 deaths/1,000 live births (2009 est.)
Life expectancy at birth: total population: 70.76 years male: 68.26 years female: 73.38 years (2009 est.)
Total fertility rate: 2.31 children born/woman (2009 est.)
HIV/AIDS - adult prevalence rate: 0.2% (2007 est.)
HIV/AIDS – people living with HIV/AIDS: 270,000 (2007 est.)
HIV/AIDS – deaths: 8,700 (2007 est.)
Nationality: noun: Indonesian(s) adjective: Indonesian
Ethnic groups: Javanese 40.6%, Sundanese 15%, Madurese 3.3%, Minangkabau 2.7%, Betawi 2.4%, Bugis 2.4%, Banten 2%, Banjar 1.7%, other or unspecified 29.9% (2000 census)
Religions: Muslim 86.1%, Protestant 5.7%, Roman Catholic 3%, Hindu 1.8%, other or unspecified 3.4% (2000 census)
Languages: Bahasa Indonesia (official, modified form of Malay), English, Dutch, local dialects (the most widely spoken of which is Javanese)
Literacy: definition: age 15 and over can read and write total population: 90.4% male: 94% female: 86.8% (2004 est.)
GovernmentCountry name: conventional long form: Republic of Indonesia conventional short form: Indonesia local long form: Republik Indonesia local short form: Indonesia former: Netherlands East Indies, Dutch East Indies
Government type: republic
Capital: name: Jakarta geographic coordinates: 6 10 S, 106 49 E time difference: UTC+7 (12 hours ahead of Washington, DC during Standard Time) note: Indonesia is divided into three time zones
Administrative divisions: 30 provinces (provinsi-provinsi, singular – provinsi), 2 special regions* (daerah-daerah istimewa, singular – daerah istimewa), and 1 special capital city district** (daerah khusus ibukota); Aceh*, Bali, Banten, Bengkulu, Gorontalo, Jakarta Raya**, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Lampung, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua Barat, Riau, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Yogyakarta* note: following the implementation of decentralization beginning on 1 January 2001, the 465 regencies and municipalities have become the key administrative units responsible for providing most government services
Independence: 17 August 1945 (declared); 27 December 1949 (by the Netherlands) note: in August 2005, the Netherlands announced it recognized de facto Indonesian independence on 17 August 1945
National holiday: Independence Day, 17 August (1945)
Constitution: August 1945; abrogated by Federal Constitution of 1949 and Provisional Constitution of 1950, restored 5 July 1959; series of amendments concluded in 2002
Legal system: based on Roman-Dutch law, substantially modified by indigenous concepts and by new criminal procedures and election codes; has not accepted compulsory ICJ jurisdiction
Suffrage: 17 years of age; universal and married persons regardless of age
Executive branch: chief of state: President Susilo Bambang YUDHOYONO (since 20 October 2004); Vice President BOEDIONO (since 20 October 2009); note – the president is both the chief of state and head of government head of government: President Susilo Bambang YUDHOYONO (since 20 October 2004); Vice President BOEDIONO (since 20 October 2009) cabinet: Cabinet appointed by the president elections: president and vice president are elected for five-year terms (eligible for a second term) by direct vote of the citizenry; last held on 8 July 2009 (next to be held in 2014) election results: Susilo Bambang YUDHOYONO elected president; percent of vote – Susilo Bambang YUDHOYONO 60.8%, MEGAWATI Sukarnoputri 26.8%, Jusuf KALLA 12.4%
Legislative branch: People’s Consultative Assembly (Majelis Permusyawaratan Rakyat or MPR) is the upper house, consists of members of DPR and DPD, has role in inaugurating and impeaching the president and in amending the constitution, does not formulate national policy; House of Representatives or Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (560 seats, members elected to serve five-year terms), formulates and passes legislation at the national level; House of Regional Representatives (Dewan Perwakilan Daerah or DPD), constitutionally mandated role includes providing legislative input to DPR on issues affecting regions elections: last held 9 April 2009 (next to be held in 2014) election results: percent of vote by party – PD 20.9%, GOLKAR 14.5%, PDI-P 14.0%, PKS 7.9%, PAN 6.0%, PPP 5.3%, PKB 4.9%, GERINDRA 4.5%, HANURA 3.8%, others 18.2%; seats by party – PD 148, GOLKAR 107, PDI-P 94, PKS 57, PAN 46, PPP 37, PKB 28, GERINDRA 26, HANURA 17 note: 29 other parties received less than 2.5% of the vote so did not obtain any seats; because of election rules, the number of seats won does not always follow the percentage of votes received by parties
Judicial branch: Supreme Court or Mahkamah Agung is the final court of appeal but does not have the power of judicial review (justices are appointed by the president from a list of candidates selected by the legislature); in March 2004 the Supreme Court assumed administrative and financial responsibility for the lower court system from the Ministry of Justice and Human Rights; Constitutional Court or Mahkamah Konstitusi (invested by the president on 16 August 2003) has the power of judicial review, jurisdiction over the results of a general election, and reviews actions to dismiss a president from office; Labor Court under supervision of Supreme Court began functioning in January 2006; the Anti-Corruption Court has jurisdiction over corruption cases brought by the independent Corruption Eradication Commission
Political parties and leaders: Democrat Party or PD [Hadi UTOMO]; Functional Groups Party or GOLKAR [Aburizal BAKRIE]; Great Indonesia Movement Party or GERINDRA [SUHARDI]; Indonesia Democratic Party-Struggle or PDI-P [MEGAWATI Sukarnoputri]; National Awakening Party or PKB [Muhaiman ISKANDAR]; National Mandate Party or PAN [Sutrisno BACHIR]; People’s Conscience Party or HANURA [WIRANTO]; Prosperous Justice Party or PKS [Luthfi Hasan SHAQ]; United Development Party or PPP [Suryadharma ALI]
Political pressure groups and leaders: Commission for the “Disappeared” and Victims of Violence or KontraS; Indonesia Corruption Watch or ICW; Indonesian Forum for the Environment or WALHI; Islamic Defenders Front or FPI; People’s Democracy Fortress or Bendera
International organization participation: ADB, APEC, APT, ARF, ASEAN, BIS, CICA (observer), CP, EAS, FAO, G-15, G-20, G-77, IAEA, IBRD, ICAO, ICC, ICRM, IDA, IDB, IFAD, IFC, IFRCS, IHO, ILO, IMF, IMO, IMSO, Interpol, IOC, IOM (observer), IPU, ISO, ITSO, ITU, ITUC, MIGA, MONUC, NAM, OIC, OPCW, PIF (partner), UN, UNAMID, UNCTAD, UNESCO, UNIDO, UNIFIL, UNMIL, UNMIS, UNWTO, UPU, WCL, WCO, WFTU, WHO, WIPO, WMO, WTO
Diplomatic representation in the US: chief of mission: Ambassador SUDJADNAN Parnohadiningrat chancery: 2020 Massachusetts Avenue NW, Washington, DC 20036 telephone: [1] (202) 775-5200 FAX: [1] (202) 775-5365 consulate(s) general: Chicago, Houston, Los Angeles, New York, San Francisco
Diplomatic representation from the US: chief of mission: Ambassador Cameron R. HUME embassy: Jalan 1 Medan Merdeka Selatan 4-5, Jakarta 10110 mailing address: Unit 8129, Box 1, FPO AP 96520 telephone: [62] (21) 3435-9000 FAX: [62] (21) 3435-9922 consulate(s) general: Surabaya

Economy
Indonesia, a vast polyglot nation, has weathered the global financial crisis relatively smoothly because of its heavy reliance on domestic consumption as the driver of economic growth. Although the economy slowed significantly from the 6%-plus growth rate recorded in 2007 and 2008, expanding at 4% in the first half of 2009, Indonesia outperformed its regional neighbors and joined China and India as the only G20 members posting growth during the crisis. The government used fiscal stimulus measures and monetary policy to counter the effects of the crisis and offered cash transfers to poor families; in addition, campaign spending in advance of legislative and presidential elections in April and July helped buoy consumption. The government made economic advances under the first administration of President YUDHOYONO, introducing significant reforms in the financial sector, including tax and customs reforms, the use of Treasury bills, and capital market development and supervision. Indonesia’s debt-to-GDP ratio in recent years has declined steadily because of increasingly robust GDP growth and sound fiscal stewardship. Indonesia still struggles with poverty and unemployment, inadequate infrastructure, corruption, a complex regulatory environment, and unequal resource distribution among regions. YUDHOYONO’s reelection, with respected economist BOEDIONO as his vice president, suggests broad continuity of economic policy, although the start of their term has been marred by corruption scandals. The government in 2010 faces the ongoing challenge of improving Indonesia’s insufficient infrastructure to remove impediments to economic growth, while addressing climate change mitigation and adaptation needs, particularly with regard to conserving Indonesia’s forests and peatlands.
GDP (purchasing power parity):GDP (purchasing power parity): $968.5 billion (2009 est.) $927.7 billion (2008 est.) $874.4 billion (2007 est.) note: data are in 2009 US dollars
GDP (official exchange rate):GDP (official exchange rate): $514.9 billion (2009 est.)
GDP – real growth rate: 4.4% (2009 est.) 6.1% (2008 est.) 6.3% (2007 est.)
GDP – per capita (PPP):GDP – per capita (PPP): $4,000 (2009 est.) $3,900 (2008 est.) $3,700 (2007 est.) note: data are in 2009 US dollars
GDP – composition by sector: agriculture: 14.4% industry: 47.1% services: 38.5% (2009 est.)
Labor force: 113.3 million (2009 est.)
Labor force – by occupation: agriculture: 42.1% industry: 18.6% services: 39.3% (2006 est.)
Unemployment rate: 7.7% (2009 est.) 8.4% (2008 est.)
Population below poverty line: 17.8% (2006)
Household income or consumption by percentage share: lowest 10%: 3% highest 10%: 32.3% (2005)
Distribution of family income – Gini index: 39.4 (2005) 37 (2001)
Inflation rate (consumer prices):Inflation rate (consumer prices): 5% (2009 est.) 9.9% (2008 est.)
Investment (gross fixed):Investment (gross fixed): 27.1% of GDP (2009 est.)
Budget: revenues: $83.77 billion expenditures: $97.24 billion (2009 est.)
Public debt: 29.8% of GDP (2009 est.) 29.3% of GDP (2008 est.)
Agriculture – products: rice, cassava (tapioca), peanuts, rubber, cocoa, coffee, palm oil, copra; poultry, beef, pork, eggs
Industries: petroleum and natural gas, textiles, apparel, footwear, mining, cement, chemical fertilizers, plywood, rubber, food, tourism
Industrial production growth rate: 2% (2009 est.)
Electricity – production: 134.4 billion kWh (2007 est.)
Electricity – consumption: 119.3 billion kWh (2007 est.)
Electricity – exports: 0 kWh (2008 est.)
Electricity – imports: 0 kWh (2008 est.)
Oil – production: 1.051 million bbl/day (2008 est.)
Oil – consumption: 1.564 million bbl/day (2008 est.)
Oil – exports: 85,000 bbl/day (2008 est.)
Oil – imports: 671,000 bbl/day (2007 est.)
Oil – proved reserves: 3.99 billion bbl (1 January 2009 est.)
Natural gas – production: 70 billion cu m (2008 est.)
Natural gas – consumption: 36.5 billion cu m (2008 est.)
Natural gas – exports: 33.5 billion cu m (2008 est.)
Natural gas – imports: 0 cu m (2008 est.)
Natural gas – proved reserves: 3.001 trillion cu m (1 January 2009 est.)
Current account balance: $10.7 billion (2009 est.) $604 million (2008 est.)
Exports: $115.6 billion (2009 est.) $139.3 billion (2008 est.)
Exports – commodities: oil and gas, electrical appliances, plywood, textiles, rubber
Exports – partners: Japan 20.2%, US 9.5%, Singapore 9.4%, China 8.5%, South Korea 6.7%, India 5.2%, Malaysia 4.7% (2008)
Imports: $86.6 billion (2009 est.) $116 billion (2008 est.)
Imports – commodities: machinery and equipment, chemicals, fuels, foodstuffs
Imports – partners: Singapore 16.9%, China 11.8%, Japan 11.7%, Malaysia 6.9%, US 6.1%, South Korea 5.4%, Thailand 4.9% (2008)
Reserves of foreign exchange and gold: $62.59 billion (31 December 2009 est.) $51.64 billion (31 December 2008 est.)
Debt – external: $150.7 billion (31 December 2009 est.) $155.1 billion (31 December 2008 est.)
Stock of direct foreign investment – at home: $73.02 billion (31 December 2009 est.) $67.3 billion (31 December 2008 est.)
Stock of direct foreign investment – abroad: $10.51 billion (31 December 2009 est.) $6.656 billion (31 December 2008 est.)
Market value of publicly traded shares: $98.76 billion (31 December 2008) $211.7 billion (31 December 2007) $138.9 billion (31 December 2006)
Exchange rates: Indonesian rupiah (IDR) per US dollar – 10,399.2 (2009), 9,698.9 (2008), 9,143 (2007), 9,159.3 (2006), 9,704.7 (2005)
CommunicationsTelephones in use: 30.378 million (2008) country comparison to the world: 10
Cellular Phones in use: 140.578 million (2008)
Telephone system: general assessment: domestic service fair, international service good domestic: interisland microwave system and HF radio police net; domestic satellite communications system; coverage provided by existing network has been expanded by use of over 200,000 telephone kiosks many located in remote areas; mobile cellular subscribership growing rapidly international: country code – 62; landing point for both the SEA-ME-WE-3 and SEA-ME-WE-4 submarine cable networks that provide links throughout Asia, the Middle East, and Europe; satellite earth stations – 2 Intelsat (1 Indian Ocean and 1 Pacific Ocean)
Radio broadcast stations: AM 678, FM 43, shortwave 82 (1998)
Television broadcast stations: 54 local TV stations (11 national TV networks; each with its group of local transmitters) (2006)
Internet country code: .id Internet hosts: 865,309 (2009)
Internet users: 30 million (2008)
TransportationAirports: 683 (2009) country comparison to the world: 10
Airports (paved runways): total: 164 over 3,047 m: 4 2,438 to 3,047 m: 18 1,524 to 2,437 m: 51 914 to 1,523 m: 56 under 914 m: 35 (2009)
Airports (unpaved runways): total: 519 1,524 to 2,437 m: 5 914 to 1,523 m: 25 under 914 m: 489 (2009)
Heliports: 36 (2009)
Pipelines: condensate 735 km; condensate/gas 73 km; gas 5,797 km; oil 5,721 km; oil/gas/water 12 km; refined products 1,370 km; water 44 km (2008)
Railways: total: 8,529 km narrow gauge: 8,529 km 1.067-m gauge (565 km electrified) (2008)
Roadways: total: 391,009 km paved: 216,714 km unpaved: 174,295 km (2005)
Waterways: 21,579 km (2008)
Merchant marine: total: 971 by type: bulk carrier 54, cargo 514, chemical tanker 35, container 80, liquefied gas 7, passenger 44, passenger/cargo 68, petroleum tanker 143, refrigerated cargo 2, roll on/roll off 10, specialized tanker 10, vehicle carrier 4 foreign-owned: 43 (China 2, France 1, Germany 1, Japan 6, Norway 1, Philippines 1, Singapore 27, Taiwan 2, UAE 2) registered in other countries: 114 (Bahamas 2, Cambodia 2, China 1, Hong Kong 7, Liberia 2, Mongolia 1, Panama 31, Singapore 66, unknown 2) (2008)
Ports and terminals: Banjarmasin, Belawan, Ciwandan, Kotabaru, Krueg Geukueh, Palembang, Panjang, Sungai Pakning, Tanjung Perak, Tanjung Priok

Military
Military branches: Indonesian Armed Forces (Tentara Nasional Indonesia, TNI): Army (TNI-Angkatan Darat (TNI-AD)), Navy (TNI-Angkatan Laut (TNI-AL); includes marines, naval air arm), Air Force (TNI-Angkatan Udara (TNI-AU)), National Air Defense Command (Kommando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas)) (2009)
Military service age and obligation: 18 years of age for selective compulsory and voluntary military service; 2-year conscript service obligation, with reserve obligation to age 45 (officers); Indonesian citizens only (2008)
Manpower available for military service: males age 16-49: 63,800,825 females age 16-49: 61,729,717 (2008 est.)
Manpower fit for military service: males age 16-49: 52,997,922 females age 16-49: 52,503,046 (2009 est.)